Ullih Hersandi: Pacaran Bukanlah Tolak Ukur Pasti Sebuah Hubungan

Pacaran Bukanlah Tolak Ukur Pasti Sebuah Hubungan



Pacaran adalah sebuah istilah yang menggambarkan hubungan antara dua insan. Tak sedikit dari mereka menganggapnya sebagai media penjajakan, sedangkan sebagian lagi menyebutnya sebagai proses untuk saling mengenal. Tak ada landasan pasti yang membuat kedua belah pihak seakan saling meyakini. Bagi mereka, selama ada rasa nyaman dan bisa saling melengkapi itu sudah lebih dari cukup untuk sebuah hubungan yang mereka miliki. Terkadang pula, hanya faktor sederhana yang bisa membuat keduanya bersama. Salah satunya adalah karena terbiasa, entah terbiasa menghabiskan waktu bersama, terbiasa saling mengungkap cerita, atau mungkin terbiasa berada dalam lokasi yang sama. Jika dilihat dari point tersebut, rasanya tak jauh berbeda dengan pepatah jawa yang menyebutkan “Tresno, jalaran soko kulino” yang memiliki makna “Cinta, tumbuh karena terbiasa”. Bisa dikatakan benar memang, dengan terbiasa kita perlahan akan beradaptasi satu sama lain. Tak heran pula, dengan terbiasa akan ada rasa saling percaya, akan tumbuh rasa saling suka. Yang sebelumnya hanya sekedar saling sapa, karena terbiasa kemudian akan berkembang menjadi saling berbagi cerita. Sederhana rasanya, kadang hanya dengan berbagi cerita seakan mereka bisa saling memahami satu sama lainnya. Hanya dengan merasa saling memahami, seakan mereka sanggup untuk saling mengisi. Setelah di tahap ini tak sedikit dari mereka yang mulai memberanikan diri, untuk mengikatkan sebuah hubungan atas nama perasaan yang mereka miliki.

Sejenak mari mengingat kembali masa 6 tahun silam, di saat kami generasi 92/93’an merasakan betapa berwarnanya masa SMA yang penuh kenangan. Putih abu-abu itulah sebutan khas untuk kami saat itu. Meskipun memiliki sebutan putih abu-abu, namun kehidupan masa SMA lebih berwarna dan jauh dari rasa jemu. Masa yang mengisahkan tentang  perjuangan belajar, menjalin sebuah persahabatan, mencari pengalaman, dan juga tentu tentang kisah kasih pacaran. Di masa inilah kami menjumpai cinta pertama. Banyak peristiwa kala SMA, yang menjadi saksi atas kisah cinta pertama. Bahkan beberapa telah bersemi saat masa orientasi, ada pula yang telah berbunga saat masa kemah bersama. Alasannya sederhana saja, merasa berada dalam keadaan yang sama, dan kemudian bersambung menjadi saling meletakkan rasa. Belum lagi tentang kebersamaan di kelas, yang juga memiliki kemungkinan untuk menumbuhkan cinta lokasi yang lugas. Tak berhenti sampai di situ, ada juga yang mencoba gerilya mencari cinta hingga kelas tetangga sebelah, juga kelas yang berada di seberang. Ada juga yang bertemu saat berada di organisasi yang sama. Yang lebih luar biasanya lagi, tak sedikit pula yang mencoba peruntungan menjalin hubungan dengan kakak kelas yang lebih dewasa, sedangkan beberapa lebih memilih untuk menjalin hubungan dengan adik kelas yang katanya lebih mudah untuk dijaga. Dari semua deretan di atas masih ada yang lebih ekstrim, yaitu mereka yang mengikatkan sebuah hubungan dengan beda sekolah. Lihat, betapa berwarnanya cerita masa SMA.

Tak mencoba menjadi orang yang munafik, aku pun pernah menyukai seorang gadis saat SMA. Namun berbeda dengan lainnya yang hingga menepi pada sebuah hubungan, perasaanku hanya sebatas di hati yang tak pernah berani kusampaikan lewat lisan. Meskipun demikian bukan berarti aku tak memiliki cerita, tetap saja masih ada berderet kisah panjang para sahabat yang kupunya. Beruntungnya, meskipun tak sanggup kumemilikinya, setidaknya masih ada banyak sahabat yang siap sedia berbagi suka duka. Dan biarlah aku menjadi saksi hidup sebuah hubungan mereka. Tak heran, namanya juga persahabatan yang senantiasa berbagi cerita termasuk tentang pacaran. Cerita romansa mereka, kadang bergulir dari mulut hingga ke telinga. Bukan sekedar konsumsi publik belaka, juga menjadi goresan kisah yang penuh makna. Banyak alur drama sekolah yang berawal dari sebuah persahabatan, perlahan berubah menjadi hubungan pacaran. Banyak cerita unik yang sekaligus mengesankan, tentang keluguan dalam proses beranjak menuju pendewasaan fikiran ataupun tindakan. Jika 7 hari dalam seminggu satu sama lain dipertemukan dalam proses kegiatan belajar mengajar, rasanya juga mungkin saja satu sama lain bisa menaruh perasaan yang diluar nalar. Tepat di masa SMA, selain langsung bertatap muka ketika jumpa, ada media sosial yang juga bisa digunakan untuk berkomunikasi sekedar melepas rindu satu sama lainnya. Tak seperti pada masa sekarang yang terdapat berjuta deret jenis dari media sosial, pada masa itu hanya ada media facebook yang digunakan untuk saling mengenal diluar jam pelajaran. Di sini memang di sebut di luar nalar, baru saja berpisah di gerbang sepulang sekolah, malam harinya langsung berasa gersang dan gelisah. Begitulah berderet kisah yang jelas kelak akan menjadi sebuah kenangan sekaligus lelucon yang takkan terlupakan.

Jika dilihat dari penjabaran di paragraf atas, cukup menjelaskan bahwa salah satu faktor penting dalam sebuah hubungan masa SMA adalah kuantitas bukan sebuah kualitas. Di mulai dari kuantitas durasi ketemu dalam seminggu, kuantitas seringnya bercanda ria bersama, dan kuantitas bertegur sapa walau hanya lewat sms, telfon ataupun media sosial pada masanya. Jika memang hubungan yang mereka jalin berdasarkan kualitas bukan dengan kuantitas, harusnya saat mereka pisah kenaikan kelas takkan ada rasa pasrah ingin segera berpisah. Alih-alih beralasan tak bisa lagi menjaga perasaan, tak sedikit dari mereka yang malahan mendapatkan pengganti baru lebih cepat dari dugaan. Namun ada juga mereka yang memiliki konsistensi tinggi, tetap menjaga hati walau tak bisa bertegur sapa setiap hari. Jangan heran jika pacaran ala anak SMA sering membuat geleng kepala sekalipun mereka yang melihatnya adalah pasangan yang telah menikah lama. Salah satunya karena tingkat kemesraan yang terkadang diluar batas kewajaran, yang bahkan bisa jadi melebihi mereka yang telah halal. Tak dapat dipungkiri, mereka juga menyertakan panggilan khusus antara satu sama lainnya, yang satu berperan sebagai ayah, yang satunya lagi berperan sebagai bunda, sedangkan kami yang tak memiliki pasangan kadang berperan sebagai anak mereka. Kemana-mana selalu berduaan, jika bisa dibawa pulangpun mungkin sudah mereka lakukan sedari tanggal pacaran telah disahkan. Aneh memang jika difikir pakai nalar, ijazah SMA pun belum dalam genggaman tapi hubungan pacaran yang kadang terlihat lebih dari tingkat kewajaran. Satu sama lain yang mengikatkan diri begitu erat, begitupun memiliki rasa saling memiliki yang sangat kuat.

Banyak hal-hal heboh yang terjadi, dan dinding sekolah yang bisupun tegak berdiri menjadi saksi. Berawal dari rasa cemburu yang berlebihan, berakhir dengan aksi saling teguran. Biasanya terjadi di kaum perempuan, yang tak segan-segan untuk melampiaskan kemarahan menghampiri orang ketiga dalam hubungan. Tak peduli entah itu teman sekelas, seangkatan, adik kelas, atau mungkin juga kakak kelas. Sedangkan untuk laki-laki, biasanya dihelat dalam sebuah pertarungan fisik untuk memperjuangkan sang gadis pujaan. Banyak yang heran apa yang sebenarnya mereka perjuangkan mati-matian, pada sebuah hubungan yang belum menemui sebuah kepastian. Hanya berdasarkan sebuah perasaan yang jelas-jelas belum terbentuk pondasi kuat, namun mereka dengan begitu gigih ingin menjadi pasangan yang terhebat. Wajar saja memang, namanya juga anak SMA yang masih banyak perlu mengais pengalaman. Termasuk dalam mengolah perasaan, bukan sembarang untuk diobral kepada mereka yang menginginkan. Melainkan untuk dijaga hingga kelak ada seseorang yang benar-benar dengan tulus ingin menjalinnya, bukan sekedar atas nama cinta namun juga menyertakan atas nama agama. Mengikatkan sebuah perasaan hanya sebatas karena memiliki berderet persamaan. Saling mengumbar janji yang melebihi mereka para pemimpin negeri pada saat kampanye mencalonkan diri. Menyebut cinta dengan begitu leluasa, hanya karena punya landasan perasaan saling suka. Saling mengikatkan hati begitu erat, hingga menimbulkan rasa saling memiliki yang berlebihan kuat. Tanpa sadar banyak waktu yang berharga, terbuang dengan sia-sia hanya untuk menjaga sesuatu yang mereka sebut cinta. Selesai sudah 3 tahun masa SMA yang penuh kisah. Beberapa kisah yang telah mereka rajut kuat selama SMA, dengan terpaksa kandas saat perpisahan terucap lewat kata. Namun tak sedikit pula, yang punya kegigihan untuk tetap konsisten bersama menjaga hingga kelak nantinya.

Sekarang kita beralih ke masa setelah lulus SMA, dengan kisah mereka yang masih berlanjut hingga bangku kuliah meskipun beda kota. Dulu yang mereka sebut cinta lokasi, kini berganti nama menjadi LDR dengan kepanjangan “Long Distance Relationship” atau biasa disebut hubungan jarak jauh. Untungnya di tahun 2011 setelah kami lulus SMA mulai banyak bermunculan jejaring sosial yang bisa digunakan untuk berkomunikasi jarak jauh. Sebut saja Twitter dengan kemampuannya berbagi 140 karakter, setidaknya cukup untuk sekedar bertegur sapa dari kejauhan. Di urutan selanjutnya ada Whatsapps yang menyediakan layanan bagi penggunanya untuk berkirim pesan tanpa batasan karakter dalam sekali pengiriman. Kemudian ada pula Line yang memungkinkan penggunanya untuk saling bercerita lewat panggilan suara, jelas lebih berkualitas karena mampu menepis rasa rindu satu sama lainnya. Tak ketinggalan masih ada Instagram dengan keampuhannya mengunggah foto-foto sebagai pengirim kabar bahwa si dia dalam kondisi fisik yang baik-baik saja. Yang terhebat masih diduduki Skype juga Hangouts yang memungkinkan keduanya untuk langsung bertatap muka lewat layar laptop yang terhubung jaringan internet. Lihat bukan, betapa generasi 92/93’an diberi kemudahan dalam berkomunikasi dari kejauhan. Rasa-rasanya takkan ada lagi kendala, bagi mereka yang mejaga hubungan jarak jauh sekalipun beda kota. Namun realita ternyata tak seindah bagi siapapun yang meletakkan harapan. Terlihat mudah dengan adanya berderet jejaring sosial yang disediakan, namun faktanya menjaga sebuah hubungan jarak jauh tak lebih mudah dari dulu saat pertama kali mengikatkannya.

Masalah dasarnya adalah kondisi kesibukan satu sama lain yang jelas sudah tak lagi sama. Pergaulan yang lebih luas dari sebelumnya, kesibukan yang lebih kompleks dari masa SMA. Namun di masa-masa ini, terkadang malah timbul berderet hak dan kewajiban satu sama lain yang konon katanya harus dipenuhi untuk menjamin langgengnya sebuah hubungan yang mereka jalin. Karena hilangnya faktor kuantitas bertemu atau bertatap muka, setidaknya satu sama lain wajib menyapa atau sekedar tanya kabar lewat media sosial yang ada. Jika menyediakan waktu untuk sang pacar saja sudah kewalahan, bisa jadi prosentasi angka kualitas sebuah hubungan diambang keputusasaan. Di tahap inilah mereka akan menerima ujian yang begitu kuat. Di mulai dari sulitnya membagi waktu, beratnya menjaga rasa rindu ingin bertemu, letihnya menjaga rasa saling percaya. Meluangkan waktu bukanlah perkara yang mudah. Bahkan begitu sulit menyisakannya untuk diri sendiri, apalagi ditengah kesibukkannya dipaksa untuk berbagi dengan sang pujaan hati. Banyak di antara mereka yang gugur dikarenakan faktor waktu ini. Kemudian tentang menjaga rasa rindu yang kadang tak lagi bertepi, memenuhi isi hati yang memaksa diri untuk segera bertemu dengan pasangan hati. Jika hubungan mereka memang berdasarkan kualitas, hal semacam ini mungkin bukanlah sesuatu yang bisa membuat mereka mudah diretas. Jangan salahkan jika memang tak lagi bisa saling menjaga rasa rindu, bisa jadi salah satu atau keduanya telah menemukan pengganti yang baru. Di tahap inilah satu sama lain mulai tak lagi mengindahkan kata percaya. Keduanya saling melemparkan rasa penuh curiga. Tak sedikit mereka yang berujung dengan melampiaskan tuduhan ataupun sangkaan tanpa alasan. Waktu yang tak bisa terbagi, rindu yang tak lagi bisa terpenuhi, rasa percaya yang perlahan tak lagi sanggup di jaga hati. Jangan tanyakan bila perasaan menjadi gersang, rasa cinta yang dulu diagungkan pun perlahan dengan pasti pupus sirna tak lagi bersemi.

Beberapa dari mereka masih bersikukuh memaksakan kondisi serta keadaan, tanpa melihat realita yang telah terjadi menerpa kehidupan. Sebagian masih beranggapan sesuatu yang telah mulai tak terkendali, masih ada kemungkinan untuk kembali diperbaiki. Mereka yang memilih jalan seperti ini, dengan pasti memasukkan diri mereka dalam sesuatu yang disebut penjara hati. Bukan tak mungkin, jika hal yang demikian hanya akan memperburuk keadaan. Perasaan yang tanpa sadar telah dikorbankan, hati yang terpaksa disakiti oleh rasa keputusasaan. Sehebat apapun keduanya saling mengusahakan, secara tidak langsung mereka hanyalah dua insan yang saling menyakiti perasaan. Betapa tidak? Yang satu meminta kepastian sebuah hubungan lengkap dengan hak-hak yang seharusnya didapatkan, sedangkan yang satunya lagi tak sanggup memenuhi kewajiban yang dulu terlanjur lewat janji manis mereka ikrarkan.  Jika memang salah satu dari mereka bisa menjaga hatinya, sedangkan yang satunya lagi kemungkinan bisa setia tak ada yang berani menjaminnya. Yang satu tertunduk lesu dalam penantian, sedangkan yang satunya tersungkur pasrah dalam himpitan keadaan. Jika sudah dalam konflik hati seperti ini, bukankah keduanya hanya berakhir dengan saling menyakiti.

Sesuatu yang buruk berlanjut hingga kata putus tepat berada diujung mulut. Semacam kata sakral bagi mereka yang telah menjalin hubungan lebih dari setengah windu. Namun apa dikata, keadaan yang memaksa mereka untuk saling mengucapkan salam perpisahan. Membungkus dengan rapi rentetan kenangan manis yang telah bersama digoreskan dalam perjalanan. Dahulu langkah yang seakan berada di jalan dan tujuan yang sama, kini seakan menemui persimpangan jalan dengan berbeda tujuan. Dengan alasan sudah tak lagi satu pemikiran, menemui berbagai jenis permasalahan, serta keadaan yang tak lagi bisa dipertahankan, hubungan yang mereka jalin bertahun lamanya kandas di perjalanan. Rasa kecewa yang terlanjur tertelanpun perlahan menjadi rasa benci yang tak bersudahan. Wajar saja, jika bertahun lamanya telah bersusah payah menjaga hubungan, lalu lenyap di jalan maka siapa yang tak kecewa dengan apa yang telah mereka perjuangkan? Rasa kecewa yang berkelanjutan bisa tumbuh berkembang menjadi saling membenci. Merasa saling tak dihargai, bahkan ada yang berfikiran telah tertipu bertahun yang telah dilalui. Di titik kehancuran inilah mereka mulai tersadar, betapa banyaknya tenaga, fikiran, dan waktu yang telah mereka korbankan untuk sesuatu yang jelas-jelas belum memiliki landasan kepastian. Jangan ditanya betapa lelahnya menjaga perasaan, tarik ulur rindu selama terpisahkan, menjaga fikiran positif untuk tetap bertahan, jutaan detik waktu berharga yang telah dikorbankan. Semuanya seakan tak terbayarkan hanya dengan kata “maaf”, takkan begitu saja terpenuhi dengan kata “cobalah untuk mengerti”.

Jika sudah berada ditahap krisis seperti ini, dahulu yang terkenal sebagai dua sejoli yang gemar mengumbar kemesraan di ranah publikpun akan bertindak seakan tidak saling mengenali. Jangan harap keduanya akan bertegur sapa lewat pesan, bahkan bertatap muka langsungpun rasanya mereka akan enggan. Bertahun-tahun telah bersama melewati banyak kisah suka duka, kini semuanya hanya sepenggal kisah lama yang bisa jadi tak lagi bermakna. Sang pemiliknya juga tak lagi berkenan untuk sekedar menilik atau mengingat kisahnya. Mau dikata apalagi, kata cinta yang dulu mereka jaga kini tak bersisa di hati. Dulu yang mengawali kisahnya dengan sebuah persahabatan, kemudian setelah berakhir malah menjadi sebuah permusuhan. Sadarkah mereka? Bukan hanya mereka yang mendapati rasa kecewa, karena kamipun sebagai sahabat mendapati hal yang sama. Kecewa karena mereka yang dulu bercanda sebagai sahabat, kini saling menjaga jarak seakan menghadapi musuh berat. Tak hanya mereka yang akan tersadar, kami sebagai orang terdekatnya pun akan memahami, bahwa pacaran bukanlah tolak ukur pasti. Tak ada jaminan yang bisa dipegang, bahwa hubungan yang diawali dengan pacaran akan berakhir dengan keberhasilan. Bukankah menjaga hati menjadi satu-satunya solusi. Menjaga untuk tidak mudah jatuh pada orang sembarangan, menjaganya untuk tak begitu saja diberikan kepada siapapun mereka yang menginginkan. Sembari menjaga hati untuk kelak seseorang yang layak, kita juga bisa perlahan memperbaiki diri menutupi segala kekurangan. Mempersiapkan segalanya hingga matang, sebelum kelak dipertemukan dengan siapapun yang siap untuk meminang. Yakinkanlah dalam hati, jika kita mempersiapkan segalanya, calon kitapun Insya Allah akan melakukan hal yang sama. Ketika keduanya telah melakukan persiapan, hingga Allah Dengan Dzat-Nya Yang Maha Sempurna menyatukan. Bukankah perempuan yang baik hanya untuk laki-laki yang baik? Demikian pula sebaliknya. Maka jika kita ingin mendapatkan yang baik, kita juga harus lebih dulu menjadi baik. Tak ada kata rugi jika kita melakukan persiapan, karena kelak yang akan mendapati kitapun adalah sosok yang penuh persiapan. Tak perlu ragu akan janji-Nya, bahwa sekecil apapun rezeki telah tertakar dan takkan tertukar. Jodoh juga bagian dari rezeki, yang kelak pada waktunya akan kita dapati. Jadi mari bersama kita jaga hati, perlahan benahi diri, serahkan semua pada-Nya setelah kita mengikhtiarkan sejauh nanti. Jangan biarkan hati terluka lebih dahulu, karena jika berbekas akan sampai padanya yang kelak akan mendampingi hidupmu. Bukankah sesuatu yang mengagumkan, jika telapak tangan ini hanya mengenggam tangan yang kelak kan bersama bersanding di pelaminan? :)

#Pekalongan, 23 Agustus 2015

4 komentar:

Copyright © Ullih Hersandi Urang-kurai